Kericuhan yg terjadi bukan tentang pribumi, agama,
kebangkitan PKI atau disintegrasi. Ini cuma tentang sekelompok orang yg
berjibaku untuk menjaga dan menguasai warisan hasil merampok selama 32 tahun.
Mereka harus menjaga warisan itu dari penguasa baru, yg
ingin mengambil hasil rampokan dan mengembalikan kepada rakyat Indonesia.
Mereka tidak perduli siapa yg jadi pemimpin, selama bisa
dikendalikan, pemimpin itu akan didukung, bila tidak, harus secepatnya
dilengserkan. Kuda boleh berganti, sais harus tetap.
Abdurrahman Wahid atw Gus Dur, tidak mungkin berpihak kepada
mereka, sebab itu kekuasaan Gus Dur harus dilengserkan, meski beliau adalah
seorang Ulama dan Tokoh NU. Organisasi Islam terbesar Indonesia.
Gus Dur adalah musuh Soeharto. Dalam acara Kick Andy pada 15
Nopember 2007, Gus Dur secara frontal mengatakan “Pemimpin di Indonesia ini
yang pantas jadi musuh saya cuma satu, Pak Harto".
Pada Muktamar PBNU tahun 1994 di Cipasung, Suharto memecah
NU dengan melakukan Muktamar Tandingan. Namun krn kuat dan solidnya warga NU,
Muktamar tandingan tersebut gagal untuk menyingkirkan Gus Dur. Lengkap sudah
ketidaksukaan Soeharto terhadap Gus Dur.
Megawati juga bukan tokoh yg bisa diharapkan bagi mereka.
Trah Soekarno dianggap duri dalam daging bagi Soeharto.
Tahun 1996, Megawati dipaksa lengser oleh Soeharto dari
ketua PDI yg akhirnya menimbulkan perpecahan ditubuh PDI dan berakhir dengan
peristiwa 27 Juli 1996.
Pada pilpres tahun 2004, mereka menggelontorkan isu bahwa
dalam Islam, wanita tidak boleh dipilih sebagai pemimpin dan dalam PDI-P,
terdapat org2 PKI.
Bambang Yudhoyono bisa menyelesaikan dua periode
kepemimpinan. Tapi harus diingat,meskipun diakhir era Orde Baru SBY bukan
penentu komando dalam Militer, tapi jabatan Beliau adalah Kassospol ABRI.
Jabatan strategis dalam pembinaan perpolitakan diwaktu itu.
SBY pun menaruh hormat terhadap penguasa Orde Baru itu. SBY
tidak responsif ketika adanya tuntutan penyelidikan dan pemeriksaan harta
kekayaan Soeharto.
Jokowi bukan siapa2 ketika Orba berkuasa. Beliau hanya tukang
Mebel.
Saat Beliau menjadi walikota Solo, masih banyak pujian yang
diberikan. Namun ketika beliau bergerak untuk menjadi DKI 1, menjadi warning
bagi penikmat kekuasaan. Apalagi Jokowi berasal dari partai musuh Orba, PDI-P.
Ketika PDI-P mengusungnya sebagai RI 1, genderang perangpun
mulai ditabuh. Gaya Orba pun dilakukan. Isu PKI, ketidak jelasan keturunan dan
agama yang dianut. Semua isu dipaksakan untuk menjegalnya.
Saat Jokowi menutup Petral tahun 2015, para penjaga warisan
orba semakin yakin bahwa Jokowi adalah orang yg harus disingkirkan. Apapun
caranya, berapapun biayanya.
Petral adalah wadah para perampok warisan orde baru dalam
mengelola hak jual beli minyak ke Pertamina.
Dengan ditutupnya Petral, Pertamina bisa menghemat 250
Milyar/hari. Siapa yg selama ini menikmati uang 250 milyar/hari?
Untuk diketahui, Tommy Soeharto dan Bob Hasan memiliki saham
masing2 sebesar 20%. Dan saat pilpres 2014, Reza Chalid, sebagai pengendali
Petral, ikut mendanai pencalonan Prabowo sebagai capres.
Menjelang pilpres 2014, Wakil Ketua Dewan Pembina Partai
Gerindra, Hashim Djojohadikusumo, menjanjikan untuk tidak akan menaikan pajak
PT Freeport saat berpidato di acara The United States-Indonesia (Usindo)
Society Washington Special Open Forum Luncheon.
Alih2 mendapat keringanan pajak, Jokowi yg terpilih sebagai
Presiden justru melakukan divestifikasi saham PT Freeport sebesar 51%. Siapa
yang sakit hati dengan kebijakan Jokowi?
Ketika Ahok melakukan blunder tentang ayat suci, hal
tersebut seperti menjadi bahan bakar bagi mereka untuk melengserkan Jokowi.
Ahok yang melakukan blunder kenapa Jokowi juga harus dilengserkan?
Jokowi dan Ahok adalah satu paket yang ingin dilengserkan,
Jokowi-Ahok bukan penikmat kekuasaan dan tidak bisa dibeli. Tidak ada beban
bagi mereka berdua untuk melaksanakan reformasi. Namun para pembenci gerakan
reformasi tidak menyukai hal itu.
Jadi jelas ya, ini cuma amanat untuk menjaga hasil rampokan.
JOKOWI DAN ISUE PKI
Tulisan Ari Wibowo
Jokowi memang sialan. Dia melakukan banyak hal yang tak
pernah bisa dilakukan oleh presiden presiden sebelumnya. Jokowi seorang risk
taker yang berani mengambil resiko dengan kalkulasi yang matang dan resiko
terburuknya sudah bisa diukur. Jadi bukan sekedar nekat dan "gacuk
ngglundung".
Disaat semua presiden sebelumnya tersandera dengan komposisi
APBN yang 60 - 70% nya tersedot untuk bayar hutang, belanja rutin dan subsidi,
sehingga alokasi untuk pembangunan infrastruktur dan investasi produktif
sangatlah minim karena lebih banyak untuk belanja konsumtif, Jokowi berani mengambil
resiko dengan memindahkan budget subsidi menjadi budget membangun
infrastruktur.
Disaat isue "berhutang" masih laku dijual ke
publik sebagai sebuah aib pemerintah, ternyata kabinetnya Jokowi berani
mengambil resiko tersebut dan mensiasati kekurangan biaya pembangunan
infrastruktur melalui pos hutang luar negeri. Argumennya masuk akal, yaitu
rasio hutang terhadap PDB (produk domestik brutto) masih dalam batas kewajaran
bahkan cenderung lebih rendah dibanding negara penghutang lainnya. Argumen
lainnya, hutang dibuat bukan untuk keperluan konsumtif (misal subsidi) atau
untuk dikorupsi.
Jadi hutang diambil untuk membangun infrastruktur, dan
infrastruktur yang baik adalah stimulan efektif untuk bertumbuhnya ekonomi
riil. Jika ekonomi menggeliat, akan menyerap tenaga kerja, ada perputaran uang,
ada peningkatan daya beli, ada kontribusi pajak yang masuk ke kas negara. Dari
situlah negara punya pendapatan tambahan untuk membayar bunga serta mengangsur
cicilan pokoknya. Semuanya pasti butuh waktu, tak mungkin terjadi secara
instan.
Lawan politik Jokowi tahu banget mengenai hal ini. Mereka
melihat Jokowi begitu agresif membangun pelabuhan, bandara, jalan tol, waduk,
rel KA, pembangkit listrik, kilang minyak dll. Jika publik awam sampai tahu
betapa luar biasanya efek dari semua progres pembangunan fisik itu, mereka
takut Jokowi mendapat penilaian positif. Mereka takut pamor Jokowi melambung
tinggi, mereka takut tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Jokowi sangat
bagus, sehingga popularitas serta elektabilitasnya meningkat.
Untuk itu perlu dicarikan isue guna menutupi serta
menghambat prestasi Jokowi. Itulah sebabnya mereka memperalat gerombolan
radikal supaya terus membikin negeri ini selalu hiruk pikuk dengan isue
kamtibmas. Tak boleh ada jeda sedikitpun. Aksi demo serta terorisme akan
membuat masyarakat ketakutan dan terancam. Energi publik habis terbuang untuk
membahas teror dan sejenisnya. Mereka lupa melihat prestasi Jokowi.
Isue PKI adalah satu satunya isue ampuh yang tersisa untuk
menggoyang Jokowi di Pilpres 2019 nanti, karena isue lain mudah dipatahkan.
Jangan heran jika yang bikin ribut jelas jelas mengibarkan bendera hitam
sebagai identitasnya, tapi yang jadi kambing hitam adalah PKI. Jangan heran
jika pelaku aksi terorisme berteriak 'thagut' yang jelas jelas bahasanya kaum radikal,
yang dituding tetap saja PKI.
Publik dianggap bodoh. Yang lagi berenang di kolam jelas
jelas seekor bebek, tapi mereka kompak menyebut itu adalah ayam. Modalnya cuma
publikasi dan propaganda secara masif kalau perlu hoax, berharap orang lain
merasa matanya rabun dan ragu bahwa yang dilihat memang seekor ayam.
Grand skenarionya memang mengaburkan prestasi Jokowi dan
menciptakan ancaman psikis tentang PKI dan terorisme di benak publik. Pinternya
mereka, kemasan anti Jokowi ini disajikan dalam sentimen agama, karena mereka
tahu bahwa banyak orang kurang wawasan yang mudah dipengaruhi dengan sentimen
agama. Inilah jurus ampuh untuk merebut kekuasaan dari tangan Jokowi.
Sabar ya, negara ini tetap akan gaduh hingga 2019 nanti.
*Share ke teman2 yaaa*!!!
0 komentar
EmoticonEmoticon